619.670,76 HEKTAR TANAH DI BABELDIPERJUANGKAN MENJADI TANAH ADAT
Jakarta, Media Sungailiat Monitor
Dato Pangeran Sardi Ibni Buman Bodin, MM, Imam Setana Jering Amantubillah Lembaga Adat Melayu Jering Bangka Belitung yang melalui Maklumat Raja Sultan Datu Penglingsir Kepala Suku dan Pemangku Adat Seluruh Indonesia yang digelar LKPASI (Lembaga Komukasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia) pada tanggal 19 sampai 20 Mei 2022 yang bertempat di Grand Cempaka Business Hotel, Kawasan Jakarta Pusat.
Melalui kesempatan kegiatan tersebut, Dato Pangeran Sardi Ibni Buman Bodin, MM, memperjuangkan, Hutan Lindung dan Hutan Produksi dalam Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diperjuangkan menjadi Tanah Adat yang akan dimanfaatkan masyarakat adat untuk kesejahteraan masyarakat.
“Baru saja kita menandatangani Maklumat Raja Sultan Datu Penglingsir Kepala Suku dan Pemangku Adat Seluruh Indonesia. Nanti pada hari terakhir (Jumat) maklumat ini kita serahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang rencanya melalui Wakil Presiden Republik Indonesia,” demikian Dato Sardi disela Opening Ceremony di Grand Cempaka Business Hotel, Rabu (18/5/2022).
Dato Sardi mengatakan ada sekitar 184.708, 46 Ha Hutan Lindung dan 434.962, 30 Ha Hutan Produksi yang tersebar di Kepulauan Bangka Belitung yang saat ini sulit dan tidak bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
“Ia (Dato Sardi) akan memperjuangkan hutan ini menjadi Hutan Adat yang akan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung. “Tadi saya dan ratusan Sultan Raja Penglisir dan Pemangku Adat se Indonesia sudah menandatangani Maklumat yang akan diserahkan kepada pemerintah,” ujarnya.
Ditambahkan, yang menjadi landasan Raja Sultan Datu Penglingsir Kepala Suku dan Pemangku Adat Seluruh Indonesia memperjuangkan Tanah Adat, Swapraja dan Tanah Ulayat adalah menagih janji Presiden RI Joko Widodo kepada Sultan Raja di Tahun 2018 lalu dan sesuai PP Nomor 18 Tahun 2021.
“Lalu kenapa saya ikut memperjuanngkan ini, karena sesuai dengan peta yang dimiliki LK Pasi bahwa tanah di Bangka Belitung termasuk Tanah Swapraja Kesultanan Palembang Darussalam dan sementara kita adalah Kerabat Kesultanan Palembang Darussalam. Oleh karena itu kita wajib memperjuangkan ini untuk kepentingan masyarakat Bangka Belitung,” jelas pria yang juga Penerima Mandat Lembaga Komunikasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia ini.
“Diceritakan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Dasar pokokpokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA), pengaturan mengenai hukum tanah di Indonesia mengalami dualisme, dapat dijumpai dalam Hukum Adat (Hukum Tanah Adat) dan Hukum Barat (Burgerlijk Wetboek). “Dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka tidak ada lagi Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah Adat. Namun hanya ada satu hak atas tanah yaitu, hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Diktum IV huruf A UUPA menentukan bahwa hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang undang ini hapus dan beralih kepada Negara”, jelas Sardi yang juga menjelaskan ketika itu tanah di Bangka Belitung ditetapkan ratusan hektar menjadi Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Dan hanya beberapa saja yang menjadi hak rakyat.
“Kita sulit untuk berusaha dan membuka usaha karena terbentur dengan regulasi yang ada. Karenanya dan karena tanah kita asalnya tanah swapraja dan sesuai janji Bapak Presiden akan dikembalikan untuk dikelola, maka kita berusaha untuk itu,” ujar Sardi.
Sardi menceritakan, setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya dan oleh karena putrinya telah dikawinkan dengan sultan Palembang yaitu Sultan Ratu Abdurrahman Khalifahtul Saydul Iman atau di kenal dengan Sunan Cinde (1659-1706), maka dengan sendirinya pulau Bangka dan sekitarnya menjadi bagian dari kesultanan Palembang Darrussalam. “Tanah air kitapun menjadi tanah swapraja Palembang Darussalam dan oleh karenanya pada masa ini setiap tahun seorang laki-laki yang sudah menikah harus memberikan tiban timah (sepotong timah yang beratnya 50 kati”, jelas Ketua Lembaga Adat Melayu Negeri Sejiran Setason Bangka Barat dan Majelis Tinggi Pucuk Adat Lembaga Adat Melayu Kota Pangkalpinang ini.
Lebih Jauh diceritakan Dalam perkembangannya, terjadi perubahan penguasa di Bangka Belitung, dari Belanda ke Inggris. Perubahan ini diawali dengan penandatangan Perjanjian Tuntang pada 18 September 1811 M.
Berdasarkan perjanjian ini, Belanda harus menyerahkan daerah-daerah taklukannya kepada pihak Inggris, meliputi Jawa, Timor, Makasar, Palembang dan termasuk Bangka Belitung. Sebagai tindak lanjut perjanjian itu, Gubernur Jenderal Inggris, Raffles mengirimkan utusan ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur dan tambang timah di pulau Bangka dan Belitung. Namun, usaha Inggris untuk mengambil alih Palembang dan Bangka Belitung ditentang oleh Sultan Palembang, Sultan Mahmud Badarudin II. Pada tanggal 20 Maret 1812 M, Raffles kembali mengirimkan ekspedisi ke Palembang, dipimpin oleh Mayor Jendral Roobert Rollo Gillespie. Namun, kedatangan Gillespie ditolak oleh Sultan Palembang. Setelah dua kali mengalami kegagalan, Inggris mulai melaksanakan politik divide et impera, dengan cara mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang pada tahun 1812 M, bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II. Sebagai imbalan atas pengangkatan ini, Bangka Belitung kemudian diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang dari Palembang ke Batavia, Gillespie melewati Mentok (Bangka).
Pada saat itu juga (20 Mei 1812 M), ia meresmikan Bangka Belitung menjadi daerah jajahan Inggris dengan nama Duke of Island. Namun Bangka Belitung hanya dua tahun berada di bawah kekuasaan Inggris.
“ Pada taggal 13 Agustus 1814 M, Belanda dan Inggris menandatangani Perjanjian London. Berdasarkan perjanjian tersebut, Inggris harus menyerahkan kembali wilayah di nusantara pada Belanda, termasuk Bangka Belitung. Serah terima Bangka Belitung dari Inggris ke Belanda berlangsung di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816 M. Pihak Belanda diwakili oleh K. Heynes, sementara Inggris diwakili oleh M.H. Court,” jelas Sardi serta mengatakan pada 7 Oktober 1823, Kesultanan Palembang resmi dihapus oleh Belanda dan Kuto Tengkuruk dihancurkan hingga rata dengan tanah. “Tanah Bangka kembali ke Bangka, ada Tanah Ulayat atau Tanah Adat, ada haminte (tanah yang ditinggalkan Belanda). “Inilah yang akan kita perjuangkan bersama Raja Sultan se Nusantara,” ujar Sardi.
Sementara itu pemrakarsa acara, Datuk Juanda Datuk Bentara dari Kesultanan Deli Serdang, yang juga Ketua LKPASI yang didampingi Dr Ruliah, SH., MH selaku Sekretaris Umum LKPASI mengatakan Kegiatan Simposium Nasional dan Maklumat Raja Sultan Datu Penglingsir Kepala Suku dan Pemangku Adat Seluruh Indonesia akan dilaksanakan selama tiga hari, Rabu hingga Jumat. “kegiatan ini sebagai momentum sejarah dan kebangkitan Nasional para raja sultan, pemangku adat di seluruh Indonesia. Maka Pada kegiatan Simposium dan deklarasi ini secara lengkap akan di ikuti peserta yang berjumlah 200 orang mewakili 70 (tujuh puluh) kerajaan dan 30 (tiga puluh) Komunitas adat di Seluruh Indonesia,”ujar Juanda serta mengatakan Simposium ini akan dihadiri oleh Wakil Presiden RI Bapak Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin. Selanjutnya acara Simposium ini akan menghadirkan Tokoh tokoh adat sebagai narasumber secara tentatif yaitu YM Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H. (Ketua Dewan Pendiri LKPASI), YM. Jend. TNI (Purn). Dr. H. Moeldoko, S.IP (Kepala Staf Kepresidenan RI), YM Prof. Dr. Ir. GPH. Suyoko M. Hadikusumo, MBA., PhD, (Kesultanan Yogyakarta). YM Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.H. (Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Unhas), laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhi Purdijatno, SH Mantan menkopolkam yang saat juga sebagai Ketua DPP FSBN. “Sejumlah tokoh pun dikabarkan akan menghadiri acara Simposium ini,diantaranya YM Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), YM. Dr. Sofyan A. Djalil, SH, MA. M. ALD (Kementrian ATR/BPN RI), YM Hary Tanoesoedibjo, MBA (Presdir PT MNC Group), H. Erick Tohir, BA., MBA (Kementrian BUMN RI), Dr. H. Khalit Osman (International Program Digital CEO di Artford International Group Ltd.) , Jend. Prabowo Subianto (Kementrian Pertahanan dan Keamanan RI), Dr. Xachrin Laode (Sekjen Forum Silaturahmi Bumi Putera Nusantara)(FSBN).” pungkas Dr. Ruliah.
(Suryadi)